ASPEK SOSIAL DALAM CERPEN ORANG BUNIAN KARYA GUS TF SAKAI : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

|

Jumat, 16 Desember 2011

ASPEK SOSIAL DALAM CERPEN ORANG BUNIAN KARYA GUS TF SAKAI : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

oleh Fitri Rahmawati

Abstrak. Tulisan ini mengkaji cerpen Orang Bunian karya Gus tf Sakai secara sosiologi sastra. Memaparkan aspek sosial yang terkandung dalam cerpen ini melalui tinjauan sosiologi sastra. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat. Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Aspek sosial yang dibahas dalam tulisan ini adalah aspek sosial dalam hal strata sosial masyarakat dan aspek budaya tentang sebuah mitos dari daerah Sumatera Barat yaitu mitos Orang Bunian.

Kata kunci: analisis, sosiologi sastra, aspek sosial, strata sosial, mitos orang bunian

Pendahuluan
Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarper istiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Damono, 2003:1). Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahiu strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 2003:3).

Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain — yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial— kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.

Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap. Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.

Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.

Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama,bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubunga n antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris (Ratna, 2003: 1). Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan, dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain seperti berikut:

a. Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspekaspek kemasyarakatannya.
b. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
c. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbela kanginya.
d. Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan.
e. Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu perkembangan masyarakat.
f. Analisis mengenai seberapa jauh kaitan la ngsung antara unsur –unsur masyarakat.
g. Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai anggota masyarakat.
h. Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra.
i. Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat.
j. Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positivistik) antara sastra dengan masyarakat.
k. Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
l. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepensi antara sastra dan masyarakat.
m. Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitaskreatif sebagai sematamata proses sosiokultural.
n. Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan pemasaran karya.
o. Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakay pembaca.
Diantara 15 definisi di atas, definisi nomor a, b, c, k, dan m dianggap mewakili keseimbangan kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat (Ratna, 2003: 2-3).

Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan manghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas (Ratna,2003:4).

Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya. Dengan demikian,penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur -unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahanperubahan struktur sosial yang terjadi di sekitarnya (Ratna, 2003: 25). Swingewood (dalam Faruk, 1999: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga -lembaga dan proses-proses social. Menurut Ritzer (dalam Faruk, 1999: 2) sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multi paradigm. Maks udnya di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Wolf (dalam Faruk,1999:3) mengatakan bahwa sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak didefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masingmasingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan antara seni atau kesusasastraan dengan masyarakat.

Menurut Ian Watt (dalam Faruk, 1999: 4) ada tiga macam pendekatan yang berbeda.
• Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Pendekatan ini yang harus diteliti adalah:
(a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,
(b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan
(c) masyarakat apa yang dituju pengarang.
• Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang paling utama mendapat perhatian adalah:
(a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra ditulis, (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya,
(c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat.
• Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian:
(a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya,
(b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan
(c) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan (a) dengan (b) diatas.

Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner (lintasdisiplin), antara sosiologi dan ilmu sastra. Pada mulanya baik dalam konteks sosiologi maupun ilmu sastra, sosiologi sastra merupakan suatu disiplin ilmu yang agak terabaikan. Ada kemungkinan penyebabnya karena objek penelitiannya yang diangap unik dan eksklusif. Di samping itu, secara historis memang sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang relatif baru berbeda dengan sosiologi pendidikan yang sudah dikenal lebih dulu. Beranjak dari etimologi sosiologi adalah berasal dari kata sosio atau society yang bermakna masyarakat dan logi atau logos yang artinya ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan masyarakat (Saraswati, 2003: 1 - 2). Teori sosiologi sastra tidak semata -mata digunakan untuk menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau disalin pengarang ke dalam sebuah karya sastra. Teori ini juga digubahkan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyannya, hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubungan antara selera massa dan kualitas suatu cipta sastra serta hubungan antara gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan karyannya (Aminuddin, 1990: 109). Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah pemahaman karya sastra dilihat dari struktur sosialnya dan gejala sosial yang timbul.

Aspek Sosial
Menurut Bussman (dalam Djajasudarma, 1999: 24) aspek (aspectus) adalah pandangan cara melakukan sesuatu. Menurut Djajasudarma (1999: 26) aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi yang dapat berupa keadaan, peristiwa, dan proses. Keadaan bersifat statis, sedangkan peristiwa bersifat dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang sedang berlangsung (imperaktif). Sosial artinya kebersamaan yang melekat pada individu (Soelaeman, 2008: 123). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek sosial adalah cara pandang suatu situasi, keadaan, dan peristiwa kebersamann dalam masyarakat. Menurut Soelaeman, 2008: 173) aspek sosial dibedakan menjadi beberapa bagian yang diuraiakan sebagai berikut.
a. Budaya yaitu nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat.
b. Pedesaan dan perkotaan yaitu suatu persekutuan hidup permanen pada suatu tempat sifat yang khas.
c. Ekonomi, meliputi kemiskinan adalah kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada di garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Adapun aspek sosial dalam penelitian ini adalah aspek sosial dalam hal strata sosial masyarakat dan aspek budaya tentang sebuah mitos dari daerah Sumatera Barat yaitu mitos Orang Bunian. Alasan peneliti memilih masalah kemiskinan karena dalam kumpulan cerpen Orangg Bunian karya Gus Tf Sakai mengandung aspek sosial dalam hal starta sosial masyarakat dan aspek budaya tentang sebuah mitos dari daerah Sumatera Barat yaitu mitos Orang Bunian.


Strata Sosial
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber. Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
a. Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, pa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja. Ukuran kekuasaan dan wewenang, seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
b. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
c. Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.

Mitos Orang Bunian
Orang bunian atau sekedar bunian adalah mitos sejenis makhluk halus dari wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Berdasar mitos tersebut, orang bunian berbentuk menyerupai manusia dan tinggal di tempat-tempat sepi, di rumah-rumah kosong yang telah ditinggalkan penghuninya dalam waktu lama. Istilah ini dikenal di wilayah Istilah orang bunian juga kadang-kadang dikaitkan dengan istilah dewa di Minangkabau, pengertian "dewa" dalam hal ini sedikit berbeda dengan pengertian dewa dalam ajaran Hindu maupun Buddha. "Dewa" dalam istilah Minangkabau berarti sebangsa makhluk halus yang tinggal di wilayah hutan, di rimba, di pinggir bukit, atau di dekat pekuburan. Biasanya bila hari menjelang matahari terbenam di pinggir bukit akan tercium sebuah aroma yang biasa dikenal dengan nama "masakan dewa" atau "samba dewa". Aroma tersebut mirip bau kentang goreng. Hal ini dapat berbeda-beda namun mirip, berdasarkan kepercayaan lokal masyarakat Minangkabau di daerah berbeda. "Dewa" dalam kepercayaan Minangkabau lebih diasosiasikan sebagai bergender perempuan, yang cantik rupawan, bukan laki-laki seperti persepsi yang umum di kepercayaan lain.
Selain itu, masyarakat Minangkabau juga meyakini bahwa ada peristiwa orang hilang disembunyikan dewa / orang bunian. Ada juga istilah "orang dipelihara dewa", yang saat bayi telah dilarikan oleh dewa. Mitos ini masih dipercaya banyak masyarakat Minangkabau sampai sekarang.

Tujuan sosiologi sastra
Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata -mata gejala individual tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2004: 11).

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif adalah metode yang memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya(Ratna, 2003: 47). Dalam mengkaji cerpen Orang Bunian peneliti
menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu menganalisis bentuk deskripsi, tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi embedded and case study research (studi kasus terperancang) . Menurut Yin (dalam Sutopo,2006: 39) embedded research (penelitian terperancang) adalah penelitian kua litatif yang sudah menentukkan unsur
penelitiannya berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan tujuan dan minat penelitinya sebelum masuk lapangan. Dalam penelitian ini embedded research adalah menentukan aspek social dalam kumpulan cerpen Orang Bunian. Studi kasus terperancang (embedded and case study research) adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi dalam suatu konteks, tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya (Sutopo, 2006: 137). Penelitian ini menggunakan studi kasus tunggal artinya penelitian ini hanya dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi atau objek) (Sutopo, 2006: 140). Studi kasus penelitian ini adalah satu naskah cerpen Orang Bunian karya Gus Tf Sakai.

Tinjauan terhadap cerita Orang Bunian
Orang Bunian
”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”
Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik, di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun, merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar.
Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan.
Tapi, sebetulnya, dunia lapis bawah itu juga tak semata terang. Ada banyak ceruk, lembah, dan lakuak (bahasa mereka untuk menyebut lembah-lembah kecil di antara undukan bukit) yang bila ditempuh akan menangkup lebat dedaun dan akar, menghalangi rembes rambat cahaya, menjadikan mata mereka seolah buta, tak bisa mengenali atau melihat apa-apa, menyerahkan arah hanya pada naluri atau krosak langkah dan gerung salak anjing-anjing mereka. Dan, sebetulnya pula, di lapis bawah ini, bukannya tak ada apa yang ia sebut rahasia.
Di tengah gelap ceruk, kelam lembah atau lindap lakuak, bisa saja tiba-tiba terbentang dunia terang. Dunia yang semua daun adalah bunga dan semua bunga adalah cahaya. Pohon-pohon meliuk, reranting berjalin, membentuk kubah dan pilar-pilar. Di situlah singgasana, alam jihin dan lelembut, dunia orang bunian. Tapi saat bertemu orang bunian, mereka tak boleh menyebut apa-apa. Karena jika bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan, hidup selamanya di dunia orang bunian.
***
Dunia di balik kabut, dunia mereka para pemburu, dan dunia orang bunian baginya adalah dunia sendiri-sendiri. Ketiganya punya dan berjalan dalam ruang waktu masing-masing. Bahkan bagi ninik mamak, tetua kaumnya, setiap alam yang berbeda dikatakan samo manjago (saling jaga). Dan sebagai keturunan para peladang yang tak asing dengan hutan, dunia jihin dan lelembut, sebetulnya, tentu pula baginya biasa. Berbeda dari teman-temannya, para pemburu lain, yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil di sekitar.
Teman-temannya itu, bisa juga dibilang, berburu lebih karena kesukaan. Di kepala mereka tak ada istilah hama babi kecuali gelak tawa, keriangan. Anjing-anjing mereka, sangat berbeda dari anjingnya, adalah anjing-anjing yang bersih, gagah, dan terpelihara. Anjing-anjing yang, seperti halnya juga tuan mereka, di matanya kadang terasa ganjil. Seolah tampak: mereka bukan bagian dari alam ini. Bukan bagian dari hutan ini. Dan, bila begitu, tidakkah sebenarnya teman-temannya bukan bagian dari lapis bawah, tempat di mana dirinya juga berada, salah satu dari tiga dunia?
Tetapi sebetulnya, bukan hanya antara dirinya dan teman-teman pemburu dari kota-kota kecil sekitar itu saja yang tampak berbeda. Antara dirinya dan teman-teman lain yang juga peladang dan sama berburu babi karena alasan hama pun kadang tak seperti dipikirkannya. Tapi memang begitulah mereka. Antara satu suku dengan suku lain selalu tak sama. Bahkan satu suku tetapi lain tempat bisa berbeda. Mereka menyebut, lain lubuk lain ikannya. Entah itu keyakinan entah pantangan, entah itu anjuran entah larangan. Tentang orang bunian itu misalnya.
Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan. Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa senang (atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali menjaga apa yang mereka sebut sumangaik.
Bila ia membagi dunia jadi tiga, tiga bagian pulalah tetua kaumnya memerikan tubuh. Ada jasad, sesuatu yang jelas terlihat, ada ruh yang menghidupkan jasad. Yang ketiga, seperti ruh yang tak terlihat tapi serupa jasad yang hubungannya nyata dengan dunia, itulah sumangaik. Seseorang jadi gila atau pindah ke lain dunia, semisal dunia orang bunian, sumangaik merekalah yang sebenarnya hilang atau terbawa. Seseorang disantet, tasapo (bahasa mereka untuk menyebut orang yang diganggu makhluk halus), dipelet atau diguna-guna, sesungguhnya, sumangaik merekalah yang diambil ditarik pergi dari tubuh mereka. Dengan keyakinan demikianlah, selalu, ia tak pernah ragu memasuki hutan. Seperti halnya juga di hari itu.
Sebenarnya, hari itu pagi yang cerah. Semua tanda alam yang sangat ia kenali, sejak malam sampai dini hari, menunjukkan besoknya siang bakal cemerlang. Malam dingin, udara seperti parutan es, dan bumi bagai merembeskan air dari pori-pori tanah. Ia tahu, itulah saat di mana babi-babi melekap lama, menyuruk dalam ke kehangatan sarang, dan buru-buru keluar begitu subuh menjelang. Waktu yang pendek, jangka yang seketika, saat kabut terangkat dan embun dilibas matahari tiba-tiba, babi-babi masih akan berada di perlintasan. Itulah saat yang tepat. Mereka menyebutnya bakutiko: babi-babi masih berkeliaran saat mereka pas tiba di hutan.
Jarang sekali mereka bisa memilih buruan. Tapi hari itu sungguh istimewa. Ada empat ekor babi yang mereka lihat di perlintasan, dan mereka memilih yang gemuk, betina, besar, seekor induk muda, untuk mereka giring ke lembah. Saat si babi telah mengarah dan masuk ke jalan setapak yang mereka inginkan, anjing-anjing pun mereka lepaskan. Dan begitulah anjing-anjing segera menghambur, memburu. Dan, seperti para anjing itu, mereka pun ikut berlarian menerobos jalan pintas mengikuti perburuan anjing-anjing. Itulah saat paling riang, paling tegang, sekaligus paling heboh dalam berburu. Karena masing-masing mereka, selain bersorak, juga akan berteriak, mengabarkan segala apa yang mereka lihat kepada para pemburu lain yang mengepung dan memintas dari arah lain.
”Hoooiii, dia mengarah ke lakuuuaakk!”
”Pinggulnya dikoyak Si Puncooo!”
”Pintas dari Bukit Buraaaii!”
Punco adalah nama salah seekor anjing mereka. Dan rupanya anjing itu berhasil melukai si babi dan si babi lari ke lakuak. Bukit Burai adalah undukan beberapa bukit kecil di hutan itu. Bila mereka tak ingin kehilangan jejak karena banyaknya lakuak, memang, mereka harus memintas dari bukit itu. Sebelum si babi mencapainya, mereka harus menghadang lebih dulu.
Dan, saat itulah tiba-tiba lindap. Tiba-tiba gelap. Entah dari mana, gumpal kabut bagai muncul begitu saja. Apakah bukan kabut? Pada saat cuaca begitu cerah! Semua bunyi, semua suara, juga jadi senyap. Tak ada teriak, riuh sorak teman-temannya. Tak terdengar salak, hondoh-posoh anjing-anjing mereka. Ia, tiba-tiba, juga merasa seolah sendiri. Padahal sebelumnya ia yakin ada beberapa teman mengikutinya. Apakah karena gelap?
Ia memanggil, tapi tak ada jawaban dari teman-temannya. Ia berteriak, tapi yang membalas hanya gema sunyi suara sendiri. Apakah teman-temannya telah memilih jalan pintas lain? Mengandalkan naluri, ia teruskan langkah mengira arah ke Bukit Burai. Entah seratus meter, entah dua ratus meter, saat tiba-tiba kembali terang. Secepat hilang, secepat itu pula kembali benderang. Butuh beberapa detik baginya mengenali sekitar, sebelum kemudian merasa asing. Dunia di sekelilingnya, betapa indah. Pepohon besar melengkung seperti kubah. Akar-akar membelit, menjalin, seperti tirai berbaku-pilin. Di antara itu semua, dedaun merumbul dikepung bunga. Beberapa kuntum mencuat, mendongak, bagai berkilau karena cahaya.
Entah berapa lama ia terpana. Saat sadar, dadanya berdesir: dunia orang bunian?
Kesadarannya sebetulnya belumlah lengkap, belum sempurna, saat lamat- lamat ia dengar suara: orang merintih?
Dan, tak butuh lama untuk mencari. Tak jauh darinya, di belakang salah satu pohon yang melengkung itu, sesosok tubuh tersender ke sebongkah batu. Dan betapa ia sangat terkejut. Seorang perempuan! Perempuan muda. Merintih. Mengerang. Seperti terluka. Sebelah tangannya membekap pinggul, sebelah yang lain memegang akar menahan tubuh agar tak jatuh. Memang, di belakang batu itu menganga jurang.
Belum sempat ia melakukan apa- apa, sesosok lain bergerak, merangkak keluar dari semak-semak. Dan betapa ia lebih terkejut. Bayi! Seorang bayi!
Ia akan melangkah, bergegas hendak menolong ketika matanya terarah ke bekap tangan si perempuan. Luka itu! Sobek itu! Pinggul babi yang dikoyak Punco! Kembali ia sadar. Awas pada diri. Sumangaik.
Entah berapa lama ia tak bersuara. Hanya memandang si perempuan yang merintih minta tolong dan sosok bayi yang merangkak ke arahnya. Tiba-tiba, sayup, tapi makin lama semakin jelas, ia dengar suara itu: sorai-sorak, hondoh-posoh, gonggong salak. Dari ketinggian tempat ia berada, ia bisa melihat mereka: teman-temannya, bersama anjing-anjing yang menghambur, memburu, mengejar seekor babi yang tampak telah terluka.
Segera ia sadar. Ada yang salah.
Saat ia bergegas, si perempuan telah melorot. Tangannya tak lagi berpegang pada akar dan tubuh itu terguling, meluncur ke dalam jurang.
Lama ia terpaku. Dadanya sesak napasnya memburu. Di bawah, sedepa di depan kakinya, si bayi mendongak, menatapnya dengan mata itu. Mata itu. Mata yang bertahun-tahun—sampai remaja—berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi.
***
”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”
Si lelaki bagai tersadar, mengerjap-ngerjapkan mata, menarik tatapan dari mata putrinya. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Menahan desah, dialihkannya pandang. Lihatlah kini semua berubah. Bukit Burai bagai tak lagi ada, berganti dengan undukan-undukan tanah pribadi; pepohon bertinggi sedang yang teratur dan tertata dan vila di sana-sini.
Tiga dunia; dan tiga bagian tubuh, di manakah kini berada? Kalau saja ia seorang asing, seorang yang darahnya bukan tertumpah di tanah ini, ia yakin semua akan berlalu dalam lupa. Tak akan ada tempat, bahkan walau tempat itu sesal terbesar dalam hidupnya. Ia ceritakan semua pada putrinya. Perburuan, teman-temannya, anjing-anjing, babi-babi, dan terutama orang bunian. Tapi, tak pernah sanggup ia bercerita tentang seorang ibu muda yang terluka, merintih, mengerang, yang ia biarkan mati meninggalkan anaknya.
”Ayah?”
Sekilas, kembali ia menatap ke mata putrinya. Tetapi kabut itu, tiga dunia itu, bagai deras menolak, mendorong ia balik ke alam nyata: segala yang terbentang di hadapannya. Undukan-undukan itu, pepohonan yang teratur, vila-vila, Bukit Burai yang berubah. Terbayang pula ladang mereka, ladang-ladang penduduk sekitar dan kaumnya, yang telah jauh pindah ke lembah. Orang bunian itu, masih adakah? Sangat ingin ia menjawab: Tidak. Tetapi, lirih, mulutnya berkata, ”Masih.”
Payakumbuh, 15 Maret 2010
Sumber : cerpenkompas.wordpress.com


Aspek Sosial Dalam Cerpen Orang Bunian Karya Gus Tf Sakai
Cerpen Orang Bunian karya Gus Tf Sakai ini berisi berbagai permasalahan sosial masyarakat. Banyak aspek sosial yang terkandung dalam cerpen ini. Di muka, dengan teknik pembuka cerita yang menarik, penulis menggambarkannya melalui dua bola mata seorang anak yang memulai dialog pada cerita ini:
“Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik, di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun, merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar…….”
Hingga seterusnya, penulis menggambarkan maksud ceritanya di muka yaitu tentang kehidupan para pemburu di hutan. Yang kemudian penulis membaginya menjadi dua lapis kehidupan, lapis atas dan lapis bawah :
“Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan.”
Di paragrap kedua ini, aspek sosial yang pertama mulai ada. Yaitu, mengenai strata sosial masyarakat, Strata sosial, lapis atas lapis bawah. Lapis atas, dunia bernuansa 'malam dan bintang-bintang', dunia yang penuh dengan hegemoni kaum atas, dunia yang lebih mengutamakan hiburan. Berbeda dengan dunia 'lapis bawah', dunia bagi orang-orang yang menganggap babi hutan adalah sebuah hama, dunia yang masih memikirkan bagaimana ia dapat mempertahankan hidup daripada untuk mencari hiburan semata, penuh perjuangan. Dengan jelas, penulis mengggambarkan bagaimana strata sosial itu terjelaskan disini, lapis atas dan lapis bawah:
“bisa juga dibilang, berburu lebih karena kesukaan. Di kepala mereka tak ada istilah hama babi kecuali gelak tawa, keriangan. Anjing-anjing mereka, sangat berbeda dari anjingnya, adalah anjing-anjing yang bersih, gagah, dan terpelihara”
Strata sosial antara kehidupan manusia yang bergelimangan harta di lapis atas dan kehidupan manusia yang berada dalam perekonomian yang rendah di lapis bawah. Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja. Ukuran kekuasaan dan wewenang, seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Kemudian, perbedaan yang lapisan kehidupan masyarakat atau strata sosial yang penulis maksudkan dalam cerpen ini tergambarkan pula dengan satu penggal cerita tentang tidak sesuainya fitrah seekor binatang yang seharusnya ia tidak asing dengan hutan yang sebenarnya adalah habitatnya:
“Anjing-anjing yang, seperti halnya juga tuan mereka, di matanya kadang terasa ganjil. Seolah tampak: mereka bukan bagian dari alam ini. Bukan bagian dari hutan ini.”
Setelah di deskripsikan dengan keadaan strata sosial secara umum, penulis juga menggambarkan sebuah pemikiran terkait perbedaan suku ataupun ego sebuah daerah, dimana masyarakat disini masih percaya bahwa satu daerah dengan daerah lain selalu berbeda, baik karakter maupun sebuah kebudayaan, tercermin dalam paragraph berikut ini : “antara dirinya dan teman-teman lain yang juga peladang dan sama berburu babi karena alasan hama pun kadang tak seperti dipikirkannya. Tapi memang begitulah mereka. Antara satu suku dengan suku lain selalu tak sama. Bahkan satu suku tetapi lain tempat bisa berbeda. Mereka menyebut, lain lubuk lain ikannya. Entah itu keyakinan entah pantangan, entah itu anjuran entah larangan…..” mungkin ini pula yang mau penulis sindir yaitu terkait konflik sosial antar suku, masalah kedaerah-daerahan yang banyak terjadi di Negara kita saat ini.
Namun konflik yang diangkat di cerpen ini, bukan hanya antara dua dunia strata sosial semata. Disini penulis mencoba mengangkat sebuah mitos, bahwa di antara dua tatanan sosial masyarakat itu, telah tersembunyi dunia yang masih di percaya oleh orang lapis bawah. Bahwa di tempat-tempat yang sepi, seperti hutan, lembah terdapat dunia makhluk halus. Orang bunian
“Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan. Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa senang (atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali menjaga apa yang mereka sebut sumangaik.
Bila ia membagi dunia jadi tiga, tiga bagian pulalah tetua kaumnya memerikan tubuh. Ada jasad, sesuatu yang jelas terlihat, ada ruh yang menghidupkan jasad. Yang ketiga, seperti ruh yang tak terlihat tapi serupa jasad yang hubungannya nyata dengan dunia, itulah sumangaik. Seseorang jadi gila atau pindah ke lain dunia, semisal dunia orang bunian, sumangaik merekalah yang sebenarnya hilang atau terbawa. Seseorang disantet, tasapo (bahasa mereka untuk menyebut orang yang diganggu makhluk halus), dipelet atau diguna-guna, sesungguhnya, sumangaik merekalah yang diambil ditarik pergi dari tubuh mereka. Dengan keyakinan demikianlah, selalu, ia tak pernah ragu memasuki hutan. Seperti halnya juga di hari itu.”

Orang bunian atau sekedar bunian adalah mitos sejenis makhluk halus dari wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Berdasar mitos tersebut, orang bunian berbentuk menyerupai manusia dan tinggal di tempat-tempat sepi, di rumah-rumah kosong yang telah ditinggalkan penghuninya dalam waktu lama. Istilah ini dikenal di wilayah Istilah orang bunian juga kadang-kadang dikaitkan dengan istilah dewa di Minangkabau, pengertian "dewa" dalam hal ini sedikit berbeda dengan pengertian dewa dalam ajaran Hindu maupun Buddha. "Dewa" dalam istilah Minangkabau berarti sebangsa makhluk halus yang tinggal di wilayah hutan, di rimba, di pinggir bukit, atau di dekat pekuburan. Biasanya bila hari menjelang matahari terbenam di pinggir bukit akan tercium sebuah aroma yang biasa dikenal dengan nama "masakan dewa" atau "samba dewa". Aroma tersebut mirip bau kentang goreng. Hal ini dapat berbeda-beda namun mirip, berdasarkan kepercayaan lokal masyarakat Minangkabau di daerah berbeda. "Dewa" dalam kepercayaan Minangkabau lebih diasosiasikan sebagai bergender perempuan, yang cantik rupawan, bukan laki-laki seperti persepsi yang umum di kepercayaan lain. Dan Mitos ini masih dipercaya banyak masyarakat Minangkabau sampai sekarang.

Dengan adanya pengangkatan orang bunian ini, memberikan sebuah pesan moral kecerobohan dalam bertindak di tempat-tempat (dunia) yang masih asing dalam jangkauan manusia (dunia orang bunian). Karena mungkin saja, terkait tindakannya itu bisa merugikan banyak orang, ataupun pihak terkait. Seperti halnya seorang anak bunian yang kehilangan Ibunya dalam cerita ini, gara-gara tindakan yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang dunia lapisan atas, mungkin juga lapisan bawah. Begitu juga dalam hal system tatanan social, tidak adanya kehati-hatian dalam bertindak, kurangnya pemahaman, bisa memberikan efek kerugian, (mungkin) kerugian yang besar.

SIMPULAN
Cerpen Orang Bunian karya Gus Tf Sakai ini mengambil latar belakang tempat berada didaerah Sumater utara, Dengan masih memberikan berbagai permasalahan social masyarakat, tentang kepercayaan dan keyakinan dari sebuah daerah. Ini bisa di pahami dengan sebuah arahan penulis yang menggambarkan sebuah tatanan masyarakat yang masih merasakan adanya strata sosial, dengan di gambarkan oleh penulis dengan 'lapis atas' dan 'lapis bawah'.
dunia bernuansa 'malam dan bintang-bintang', dunia yang penuh dengan hegemoni kaum atas, dunia yang lebih mengutamakan hiburan. Berbeda dengan dunia 'lapis bawah', dunia bagi orang-orang yang menganggap babi hutan adalah sebuah hama, dunia yang masih memikirkan bagaimana ia dapat mempertahankan hidup daripada untuk mencari hiburan semata, penuh perjuangan. Setelah di deskripsikan dengan keadaan strata sosial secara umum, penulis juga menggambarkan sebuah pemikiran terkait perbedaan suku ataupun ego sebuah daerah, dimana masyarakat disini masih percaya bahwa satu daerah dengan daerah lain selalu berbeda, baik karakter maupun sebuah kebudayaan, mungkin ini pula yang mau penulis sindir yaitu terkait konflik sosial antar suku, masalah kedaerah-daerahan. Namun konflik yang diangkat di cerpen ini, bukan hanya antara dua dunia strata sosial semata. Disini penulis mencoba mengangkat sebuah mitos, bahwa di antara dua tatanan sosial masyarakat itu, telah tersembunyi dunia yang masih di percaya oleh orang lapis bawah. Bahwa di tempat-tempat yang sepi, seperti hutan, lembah terdapat dunia makhluk halus, dunia yang kebanyakan kaum lapis atas tak pernah menyadari. Dengan adanya pengangkatan orang bunian ini, memberikan sebuah pesan moral kecerobohan dalam bertindak di tempat-tempat (dunia) yang masih asing dalam jangkauan manusia (dunia orang bunian). Karena mungkin saja, terkait tindakannya itu bisa merugikan banyak orang, ataupun pihak terkait. Seperti halnya seorang anak bunian yang kehilangan Ibunya, seperti dalam cerita ini, gara-gara tindakan yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang dunia lapisan atas, mungkin juga lapisan bawah. Begitu juga dalam hal sistem tatanan social, tidak adanya kehati-hatian dalam bertindak, kurangnya pemahaman, bisa memberikan efek kerugian, (mungkin) kerugian yang besar.




DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Luxemburg, B. M., Westeinjn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: P.T. Gramedia.
Nurgiyantoro, B. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
Tf Sakai, Gus. 2010. ”Orang Bunian”. [Online]. Tersedia: http://cerpenkompas.wordpress.com. [10 Maret 2008].
id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial

http://sebuahcatatansastra.blogspot.com/2009/02/sosiologi-sastra.html

http://cerpenkompas.wordpress.com/tag/gus-tf-sakai/

http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_bunian

http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/index.php

0 komentar:

Posting Komentar